Memoar Pulau Dewata
Pertengahan musim hujan waktu
itu, tepat pada bulan Januari akhir, saya seperti burung yang keluar dari
sangkarnya, terbang bebas mengibaskan sayap patah-patah, namun begitu riang,
atau seperti anak merpati yang baru dilepas bebas dari meditasi sunyi induknya,
belajar terbang riang menelusup lepas menelusuri cakrawala, darah rasa ingin
tahu mengalir deras dalam tubuh. Saya juga tak ubahnya seperti belut yang baru
ditaburi garam, gelisah menggelinjang.
Ah, orang seperti saya kalau
tidak punya hasrat dan tekat baja tidak bisa kemana-mana, apalagi akhir-akhir
ini acara Travelling di televisi menjadi semacam ‘mode of modern
world’, membuat saya semakin gundah gulana. Maka dari itu saya memutuskan
untuk keluar mencari kemungkinan-kemungkinan lain agar hidup tidak sekedar
hidup.
Saya masih ingat perkataan
Sartre, seorang filsuf sekaligus sastrawan Prancis itu, bahwa manusia adalah
satu-satunya makhluk yang dapat melihat keluar dan memilih dirinya untuk mencari
kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat menciptkan citra manusia seutuhnya.
Aku memilih menjadi Backpacker,
kedengarannya agak menyesakkan dada, karena setidaknya saya telah memilih jalan
dengan kemungkinan menggoda marabahaya dan menantang nyali. Tapi mungkin dengan
jalan ini saya dapat menambah sudut pandang baru dalam memahami diri saya
sendiri dan juga orang lain.
Destinasi wisata yang akan saya
kunjungi adalah Bali, sebuah pulau mungil yang terletak di sebelah timur pulau
Jawa. Bali adalah salah satu destinasi wisata di Indonesia yang sudah dikenal
sejak puluhan tahun silam dan merupakan salah satu destinasi wisata favorit
dunia yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia maupun bagi
wisatawan asing. apalagi di tahun 2017 kemarin Bali menjadi wisata favorit nomor wahid dunia via tripadvisor. Itulah salah satu alasan saya.
Bali menjadi sebuah penjajakan baru, dan mungkin akan menjadi antitesa bagi
hidup saya.
Saya belum pernah ke Bali
sebelumnya, oleh karena itu, saya terus mencari informasi. Selain teman,
internet menjadi salah satu penyedia informasi bagi saya. Banyak jasa pariwisata
yang ditawarkan di internet, mulai dari ini dan itu, kalau sudah di sana, kamu
harus ke tempat ini itu dan sebagainya, membuat saya muak. Informasi di internet
belum tentu memberikan kelimpahan keamanan. Akhirnya saya berangkat.
Malam yang begitu gelap itu,
saya berjalan, lalu melintas cepat dengan laju kereta, hingga sampai pada dua
persimpangan, terjebak pada dua arah yang berbeda, perbekalan habis, lalu
berjalan terbata-bata sampai berpuluh-puluh kilo sambil menggendong tas
ransel yang beratnya hampir 15 kg, saya terlempar pada dunia asing.
Terkadang saya duduk di pinggir
jalan mencoba menyetop mobil apa saja yang melintas untuk minta tumpangan agar
sampai tujuan, namun hasilnya nihil. Kanan kiri anjing menggongong, terus
berjalan namun saya tetap kehilangan arah, berjalan berpuluh-puluh kilo,
membuat kaki seperti ditusuk-tusuk jarum.
Dalam suasana sepi yang gelap,
tiba-tiba saya dicegat oleh beberapa kelompok yang tak dikenal, mereka meminta
ini itu yang menempel di tubuh yang ringkih ini, sialnya minta ampun, hidup
yang melarat telah terjadi pada saya. Namun sekejam-kejamnya hidup di manapun
saya berada satu tetespun airmata tidak boleh jatuh. Terjatuh, bangkit, terjatuh lagi
bangkit lagi. Mungkin inilah akibat dari tidak mau mengikuti panduan hidup normal
kebanyakan orang.
Jam 05.00 Wit pagi, Dengan
keadaan tubuh kumal, lusuh, akhirnya saya tiba di Kuta Bali, sebuah destinasi
wisata yang menawarkan banyak hal. 'Welcome To Bali' !.
Bali tentunya bukan hanya
dikenal sebatas wilayah yang bersifat geografis, tapi Bali merupakan kode
keindahan Nusantara, lambang keragaman budaya, sakralitas Agama, dan juga di
lain sisi Bali khususnya di Kuta, menawarkan kehidupan yang menggairahkan,
Hedonistik, dan segala potret kenikmatan dunia. Disini, hal yang dianggap tabu
oleh sejumlah kelompok menjadi hal biasa.
Hari pertama di Kuta, saya
melihat para turis asing berlalu lalang, para Backpacker Eropa dengan
tubuh kusut sedang bercakap-cakap di tourist information center. Di
Kuta inilah, Wisatawan menjadi semacam kunci keberlangsungan hidup masyarakat,
fluktuasi ekonomi tergantung seberapa banyak wisatawan yang berkunjung kesini.
oleh karenanya setiap saat, Bali semakin mempercantik diri untuk mengundang
selera para wisatawan untuk berlibur.
Apa yang menarik dari Kuta?,
perlu diketahui bahwa para turis asing tergila-gila kesini salah satunya adalah
karena pantainya dengan ombak besar, ombak besar bukan merupakan kode bencana
bagi para peselancar tapi menjadi sebuah primadona. Oleh karena itu, Kuta
merupakan surga bagi peselancar baik amatir maupun professional, di tambah
pantainya yang menghadap ke arah barat di mana matahari tenggelam.
Sore kala itu di pantai Kuta,
adalah cara terbaik menikmati senja, banyak turis asing yang sedang
menari-menari di atas papan selancar menikmati ombak, ada yang menagkap momen sunset,
duduk manis menunggu matahari terbenam, atau sekedar membaca buku, dan
segala aktifitas para wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
Pernah waktu itu saya duduk di
depan cafe bernuansa Italiano Vintage, hujan baru saja reda, saya
melihat dua gadis Aussie (sebutan untuk orang Australia) berperawakan
cantik, fashionable, rule of model, melintas di depan saya, salah satu
darinya saya melihat ada tato di belakang pundak dengan kalimat, “Without
sadness, we wouldn’t know the happiness”, begitu mempesona kata-katanya,
tato di gadis itu memberikan saya satu pelajaran.
Saya juga pernah menjumpai hal
yang menggelikan, waktu itu saya melihat seorang bocah Aussie, mungkin
umurnya sekitar dua setengah tahun berjalan tanpa alas kaki didampingi ayahnya,
saya perhatikan di kedua lubang hidungnya ada ingus mengalir seperti krim susu
lamban jatuhnya. Saya bilang sama dia dengan
senyum ragu sambil menunjuk ke posisi hidungnya agar dibuang secepatnya,
tiba-tiba dia melotot pandangi saya, sambil mengangkat tangan lalu mengeluarkan
jari telunjuk dan menyentuh ingus seperti saat sedang mencicipi makanan. Kemudian dia mengulurkan lidah
dan mengunyamnya sampai beberapa kali, tawa tak bisa dibendung, lalu saya
dengar suara geram seperti kata berhenti dari ayahnya dalam bahasa mereka,
Mengingatnya saya seperti orang gila. Fenomena seperti ini mungkin yang
disebut sebagai ‘unexpected sense of humor’.
Beberapa hari setelahnya, saya
bertemu dengan gadis Backpacker asal London Inggris negri ratu
Elizabeth itu, namanya Emma, penampilannya sangat sederhana, rambutnya lurus,
wajahnya cantik, seperti gadis yang membintangi film romansa 'A Walk to
Remember' yang diadaptasi dari novel karya Nicholas Sparks, waktu itu saya lagi duduk di
depan artshop semacam tempat yang menjual segala aksesoris dan
oleh-oleh khas Bali, saya kenal dengannya ketika dia bertanya bagaimana dapat
memperpanjang masa visa yang sudah habis waktunya, Dia sudah sebulan di sini dan
dia ingin memperpanjang masa visa nya agar dapat lebih lama lagi tinggal di
Bali dan keliling Indonesia, jika bisa diperpanjang dia berencana akan
mengunjungi Borneo Kalimantan. Namun, kalau tidak diperpanjang,
mau tidak mau besok dia harus take off dari Bali, saya turut prihatin,
saya mencoba mencari informasi ke beberapa teman saya bahkan ke jalur agen
ilegal, ternyata sudah tidak bisa, kecuali seminggu sebelum masa berakhirnya
tiba. Bisa diperpanjang namun harus ke Singapura dulu, dan itu membutuhkan dana
lumayan mahal.
Perlu diketahui bahwa para Backpacker
Eropa adalah orang-orang yang ‘totality traveller’, mereka berkunjung
ke Indonesia tidak hanya sebentar tapi berbulan-bulan, alasannya adalah biaya
dari sana ke Indonesia cukup mahal dan juga durasi libur di Negara mereka
panjang.
Bali yang kita kenal sebagai
pulau Dewata, di samping memilki eksotisme wisata, juga menyimpan ingatan
sosial yang kelam, tepatnya pada tahun 2002 di Kuta, pernah terjadi aksi
ledakan bom yang dilakukan oleh sejumlah kelompok teroris, aksi yang banyak
menelan korban wisatawan asing itu menimbulkan problem bagi industri
pariwisata, sensitifitas meningkat sejak kejadian itu, banyak sekali dampak
yang dirasakan.
Para teroris itu tidak hanya
membunuh para wisatawan, namun juga membunuh perekonomian masyarakat,
konsekuensinya adalah para wisatawan menjadi enggan berkunjung ke Bali.
Tentunya kita harapkan kejadian semacam itu tidak sampai terulang lagi.
Saya melihat perjalanan bukan
hanya sebatas membawa kita pada tempat-tempat yang eksotis, pelampiasan
kejenuhan atas dunia kerja, berbelanja sesuka hati, mengabadikan momen
dengan kamera lalu pamer di sosial media dan sebagainya. “travel brings
power and love back into your life”, kata Rumi, artinya bahwa dengan
perjalanan membuat kita kuat dan kembali mencintai kehidupan kita. Namun, Bagi
saya perjalanan adalah semacam proses menemukan ‘sense of human life’.
Comments
Post a Comment