Film Sebagai Propaganda Massa


Rupanya kita belum beranjak dari masa di mana gedung bioskop menjadi tempat ternyaman menonton film layar lebar. Bagi sebagian orang bioskop menjadi tujuan piknik alternatif untuk menghibur diri di akhir pekan. Kita sibuk memilih film yang akan ditonton. Kita mengajak teman, pacar ataupun keluarga untuk menonton film-film terbaru. Produksi film di Indonesia semakin hari semakin mengikuti pasar dan selera pemirsa. Di samping itu juga, rasa-rasanya film Hollywood yang setiap hari nongkrong di bioskop tercinta kita ini semakin banyak diminati. Genre dan kualitas produksi mungkin yang menjadi alasan.

Menonton film di bioskop di negri ini rasanya memiliki makna ganda, di samping sebagai sarana hiburan, bioskop kerapkali menjadi tolok ukur kasta. Orang-orang datang duduk kemudian pergi. Itu saja. Tak ada hal lain yang membuat mereka tertarik untuk mengobrol ataupun berbagi tentang hidup dengan mereka yang duduk di sampingnya di depan ataupun di belakang.

Kita mungkin paham bahwa film adalah bagian dari seni visual yang dapat berpengaruh terhadap siapa saja. Kemudian film menjadi semacam benda yang membentur ruang-ruang tersembunyi dalam pikiran kita, Pikiran kita tiba-tiba meledak seperti granat, atau barangkali kita mendadak melankolis. Begitulah film memperlakukan kita. Ada perasaan-perasaan lain yang muncul seketika.

Apa yang lebih penting dari film?

Setiap film tentunya memiliki tujuan masing-masing, ada pesan-pesan yang secara tersirat disampaikan dari segi dialog, alur ataupun aksi. Hari ini mungkin sebagian dari kita merasa lega dengan dunia perfilman, hari ini kita lebih banyak disuguhi film-film aksi, percintaan maupun petualangan, kita menjadi terhibur dan merasa nyaman.

Sekarang kita hidup di masa dimana teknologi membuat kita mudah melakukan bebagai hal. Film-film layar lebar pun tak luput dari penampilan-penampilan kecanggihan teknologi.  Bagaimana sebuah film yang berdurasi lebih dari satu jam dapat mengikis nalar kritis kita terhadap sesuatu, kemudian film dengan mudah memproduksi otak kita menjadi apa yang ia inginkan.

Pada saat perang dunia 2 bergejolak, banyak bermuncualan film-film propaganda. Lebih-lebih juga di Indonesia. tragedi 1965 merupakan sesuatu yang memancing para peneliti barat ingin berlama-lama tinggal di Indonesia. mereka melakukan berbagai penelitian dengan menggunakan berbagai pisau analisis, salah satunya melalui film. Masa Orde baru film G 30 SPKI produksi pemerintah menjadi pijakan wajib tentang kebenaran. Tak ada ruang sedikitpun untuk bisa melawan penguasa yang memonopoli kebenaran. film menjadi cara ampuh sebagai propaganda kekuasaan.

Orba adalah masa ketika hal-hal subversiv menjadi sensitif diperbincangkan di ruang publik. konflik para elit politik membuat kita semakin bodoh. Rasa tentram dan sejahtera menjadi alasan penguasa saat itu. Melalui film kita disuguhkan pemahaman menurut mereka, kebenaran menurut mereka. Benar kata Foulcault bahwa pengetahuan melahirkan kekuasaan. Film adalah cara yang tepat membuat wacana, dan itu berhasil dilakukan di jaman orde baru. Orang-orang lalu kemudian percaya dan yakin bahwa arsip pemerintah itu yang paling benar.

Percaturan kekuasaan di negri tidak bisa lepas harapan-harapan yang bersifat verbal visual. Kemarin sekali aku mendengar bahasa “Revolusi Mental” aku tidak paham revolusi mental mungkin juga mereka para tukang becak, tukang Koran, penjual sayuran dan mungkin mereka yang hidupnya semakin terisolasi oleh derasnya kapitalisme dan investasi. Revolusi mental mungkin sebagai slogan dan juga mungkin sebagai harapan dari penguasa. Slogan-slogan tersebut rupanya hanya berbicara pada diri sendiri, hanya berbicara pada badan reklame yang ukurannya super besar di jalan-jalan. Setelah film dan slogan, dusta apalagi ?

Comments

Popular Posts