Hitler dan Traumatik Orang-Orang Jerman
Orayt dears, kali ini aku akan kembali
menuturkan kisah tentang Bali.
Aku pernah menjumpai reklame di punggung bis
pariwisata, sebuah slogan “ BALI = Banyak Libur ”. Hmm, kalau dipikir-pikir
bener juga sih, selain sebagai tempat wisata, Bali begitu dekat dengan praktek
ibadat Agama Hindu yang begitu kental, Agama Hindu memiliki banyak upacara dan
tradisi, dengan begitu pemerintah Bali membuat kebijakan khusus tentang
hari-hari libur tanpa harus berpedoman pada kalender pusat, setiap ada acara
yang menyangkut praktek ibadat Agama Hindu pasti sekolah diliburkan, misalnya
sebelum Hari Raya Nyepi sekolah diliburkan selama kurang lebih satu minggu dan
masih banyak hari libur di setiap bulan dengan acara yang berbeda. sepertinya
anak-anak yang sekolah disini memiliki banyak waktu untuk bermain, asyik.
Sabtu sore kala itu, matahari di Kuta Bali
tidak seperti biasanya, rasa-rasanya lebih indah, cahaya senja menyeruak seperti
memuncratkan sentuhan daya magis, bias cahaya senja yang kemerahan menghampar
di mana-mana, di daun-daun, gedung hotel, dan gang-gang sempit. Hari itu jalan
raya seperti ditaburi tomat, merah merona, alam seperti merayakan festival
tahunan, indah pokoknya. Kulihat beberapa traveller
muda Eropa baru saja tiba dengan beban backpack
dipunggungnya, mereka berjingkrak-jingkrak kegirangan, tabiat orang-orang Eropa
sana memang selalu menjadi perhatianku.
***
Sampai saat ini aku belum paham tentang relatifitas
waktu yang tiba-tiba menyeretku ke beberapa tempat berbeda, seolah mengajakku
belajar tentang bagaimana si A dan si B berperilaku, berpendapat dan berfikir.
Didesak oleh kondisi, pada akhirnya aku membuat keputusan-keputusan yang
menurutku harus dijalani. Hidup di wilayah pariwisata seperti Bali terkadang
memberikanku kemungkinan-kemungkinan lain, penawaran-penawaran hidup yang
destruktif, penuh kejanggalan, paradoks dan absurb.
***
Setiap hari aku terbiasa bercakap-cakap dengan
para turis dari berbagai belahan dunia, maaf kerjaanku bukan di gedung mewah
yang menjulang tinggi berpakaian rapi dengan dasi dan sepatu pantovel yang
mengkilat, pekerjaanku sebagai penjual pakaian, barang unik, hiasan dinding,
kerajinan tangan dan sebagainya di sebuah toko artshop di daerah jalan Pantai Kuta, aku menikmati pekerjaanku. Kebiasaanku
bertemu dengan orang-orang berbeda budaya dari Negara yang jauh membuatku seperti
memiliki pekerjaan ganda, di samping jualan aku terkadang menjadi semacam life observer, profesi seperti ini
rasanya membutuhkan rasa sensitifitas yang tinggi, mendorongku menjadi skeptis,
kenapa mereka berperilaku seperti ini seperti itu, dengan begitu aku terkadang
mencoba hal-hal diluar percakapan normal sehari-hari, bukan berarti berkomunikasi
dengan tidak etis, tetapi mencoba mengajak mereka para turis asing mengobrol
hal-hal yang membuka banyak pertanyaan.
***
Hari itu, mungkin lima belas menit lagi mau Adzan
Maghrib WITA, aku duduk di depan artshop,
ketika mau hendak berdiri, tiba-tiba datang seorang turis berperawakan tinggi
putih umurnya mungkin sekitar 50 tahun an bersama istrinya menghampiriku.
Kutebak dalam pikiranku mereka pasti berasal dari Eropa, dugaanku benar. Aku tanya
asalnya katanya mereka dari Negara Jerman. Istrinya tertarik untuk berbelanja,
kupersilahkan istrinya masuk untuk berbelanja. aku memilih duduk dan mengobrol
dengannya, senyum sapa adalah pembuka percakapan kami, Bandara Frankfrut, Bayer
Munchen, dan Mezut Ozil mewarnai percakapan kami yang lepas, hingga pada
akhirnya aku mengeluarkan satu kata yang membuat dia tiba-tiba kaget dan wajahnya
mengerutkan dahi. Aku hanya bertanya satu kata “Holocaust”, dan dilanjutkan dengan pertanyaan “What is Holocaust?”
Sebelum menjawab, kulihat dia sepertinya
mengambil nafas satu jeda, sorot matanya seperti memandang tajam sebuah masa, lalu
kemudian menjawabnya dengan suara seperti terburu-buru, bahwa katanya Holocaust itu identik dengan perang
dunia 2, pembantaian sekitar enam juta manusia, sebuah tragedi terbesar umat
manusia di Eropa sana. Dia juga menyebutkan dalang atas pembunuhan masal itu bernama
“HITLER”. Hitler adalah pemimpin partai Nazi yang ingin berkuasa atas Jerman
dengan cara diktator, otoriter dan represif, salah satu caranya adalah pembantaian
terhadap kaum Yahudi yang dianggap merugikan bangsa Jerman pada saat itu.
Setelah dia menjelaskan panjang lebar, aku
mengucapkan terimakasih banyak atas penjelasannya. Istrinya masih berbelanja,
aku melanjutkan obrolan dengannya masih tentang Jerman, aku bertanya dengan
sedikit senyum “my friend, what’s the
good thing about HITLER”. Dia jawab dengan posisi duduk seperti mau bangkit
“ no good thing”, sebelum akhirnya
istrinya datang dan mengajaknya pergi.
Kalau dipikir-pikir terkadang tragedi suatu
bangsa menjadi aib jika dibicarakan, cenderung sensitif. Namun seperti halnya Holocaust atau pembantaian masal adalah
semacam fakta sejarah yang perlu kita ketahui, setidaknya sebagai ungkapan rasa
syukur kita terhadap hidup yang sekarang kita nikmati.
***
Sebelumnya aku juga bertemu dengan beberapa
turis asal negri Panser itu, mereka masih muda, kulihat dari perawakannya mereka
seperti atlit sepakbola di klub-klub Bundesliga Jerman, atau seperti muda-mudi
yang kulihat di barisan kursi penonton Bundesliga yang begitu rapi, sopan,
tidak banyak tingkah, memegang etika sportifitas sebagai penonton, tidak
seperti penonton pada pertandingan liga Indonesia yang cenderung hiperaktif,
loncat pagarlah, menyalakan kembang api sambil selfi lah, duh sepakbola
Indonesia.
Comments
Post a Comment