Selain Buku, Matamu Adalah Tempat Paling Sunyi Di Dunia

Buku dan membaca itu berbeda, buku sebagai kata benda membaca sebagai kata kerja.

Lalu sekarang kenapa kita harus membaca?

Orang-orang tidak sekolah jadi pintar karena membaca. Bahkan seandainya hewan dapat membaca, akan ada beberapa manusia yang tidak mau membaca mungkin bertekuk lutut padanya. Bukan apa-apa, membaca bukan soal anjuran dalam Agama, bukan soal siapa aku, kamu atau dia, bukan soal strata sosial, pamer intelektualitas, cakap dalam dialektika atau mugkin biar kelihatan keren. Tapi ada yang lebih penting daripada itu. Membaca adalah bagaimana kita memahami diri kita sebagai manusia, yaitu agar kita memiliki berbagai macam sudut pandang dalam melihat sebuah persoalan, agar kita tidak mudah menjatuhkan kesimpulan akhir terhadap sesuatu, agar kita tidak terjebak pada tindakan yang bersifat radikal nihilis, dan agar kita tidak mudah ikut-ikutan segerombolan spesies di jalanan seperti sebuah karnaval tahunan. Kita ini manusia karena kita memahami apa yang lebih prinsipil dalam hidup.

                                                        ***
Ada banyak hal dalam hidup yang ingin sekali kuungkapkan. Kemarin aku menerima kabar tentang orang-orang yang pergi begitu saja. Setiap hari nasib-nasib buruk datang bertamu kemudian pulang sambil tertawa. aku terjerembab pada hidup yang penuh hingar bingar, aku merasa seperti ada seribu mata kamera yang memperhatikanku dan mengabarkan kebohongan yang paling tersembunyi. Aku tidak mengerti.

Lewat internet aku menemukan Museum Louvre yang bentuknya piramid itu, sebuah tempat yang menampung ribuan barang-barang berharga masa lampau yang usianya ratusan bahkan mungkin ribuan tahun, salah satunya lukisan Monalisa. Lukisan Monalisa karya Leonardo Da vinci adalah artefak sejarah yang sekaligus seni. Senyumnya adalah misteri, matanya menyimpan setumpuk rahasia. Lukisan monalisa adalah interpretasi realitas di abad pencerahan dari seorang seniman agung, dan hal itu yang membuatku semakin tidak mengerti tentang apa yang dikatakan Pablo Picasso seorang pelukis asal Spanyol itu, katanya “seni adalah dusta yang menjelaskan kebenaran tentang realitas”. Lukisan monalisa menjadi objek sebagai interpretasi sebuah masa.

Terkadang hal-hal rumit dalam hidup menjadi bayangan-bayangan kejam yang sesekali mencoba membunuh kita beberapa kali. Kita menjadi membutuhkan diri kita yang lain dalam membuat keputusan-keputusan yang tepat, mencintai seseorang misalnya, atau mungkin seperti buku-buku di rak perpustakaan. Kalau kita melihat buku-buku yang berjajar sesuai kategori di perpustakaan tak lebih hanyalah sebuah benda. buku-buku tersebut membutuhkan sesuatu yang lain agar ia tumbuh sebagaimana mestinya, agar ia memiliki eksistensi dan barangkali agar buku-buku itu tak lagi berdesak-desakan menertawakan kesunyian. Buku-buku membutuhkan mata untuk diperhatikan secara benar, membutuhkan tangan untuk dilipat menjadi tanda, membutuhkan kaki untuk menempuh jarak dan juga membutuhkan rasa untuk mencintai.

Rasa-rasanya semakin lama hidup, aku menjadi semakin tidak paham tentang kesunyian, dunia semakin hari semakin menyeretku pada pola pikir “instan”. Arus wacana Politik dan kekuasaan serta teknologi yang setiap hari  dikonsumsi semakin menjadi mimbar atas hidup yang ideal. Pola makan, tidur, olahraga dan hiburan di atur sesuai porsi

Maka sekarang aku bersikeras berpikir untuk hari-hari selanjutnya. Menyiapkan beberapa bekal untuk sesuatu yang aku sakralkan, sesuatu yang aku transendensikan keberadaannya. Mungkin dengan begini aku dapat mudah melakukan meditasi dengan caraku sendiri. Mulai saat ini aku mencoba mencintai hal yang aku benci, misalnya sms pemberitahuan pemblokiran kartu, iklan-iklan di internet yang mengganggu, makhluk-makhluk kecil di tengah malam yang berisik di gendang telinga dan juga lamanya balasan sms darinya. Hari-hari selanjutnya aku akan sibukkan dengan membuat peta di atas kertas putih menggunakan pensil lengkap dengan penghapusnya sembari membayangkan dia. Menggambar pola, gundukan tanah, jalan-jalan setapak, taman, kursi kayu, kupu-kupu, bebatuan, pohon-pohon yang hanya tinggal rantingnya, daun dan juga matahari.

                                                          ***
Kemarin hari buku sedunia. Aku hanya mengelus dada, Kenapa ada hari-hari ini dan itu. Mungkin suatu saat zaman akan menyisakan perayaan hari ini dan itu belaka. Owh iya, Borges terkadang memang keterlaluan, katanya “jika kamu ingin membayangkan surga, maka bayangkanlah perpustakaan”, Borges memberi isyarat yang ganjil terhadap zaman. Aku juga terkadang berpikir bahwa surga tidak seperti yang borges bilang. Justru aku membayangkan sebuah perpustakaan ada di lekuk mata seorang kekasih yang jauh tapi penuh rahasia hingga terlampau saling mencintai, matanya adalah perpustakaan luas yang penuh kalimat tanda tanya.

Aku membiarkan hal ini terjadi padaku, agar aku cepat berhenti membaca buku untuk menemukan kesunyian yang lain. Menyampaikan satu baris kalimat dan membaca rasi bintang dimatanya untuk menemukan arah pulang dan sisa-sisa ketiadaan.

Comments

Popular Posts