Paradoksalitas Kemerdekaan


Hari kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus merupakan momen penting negri ini. Seluruh pelosok negri tengah berada pada ingar bingar pesta kemerdekaan. Selain upacara pengibaran bendera, serangkaian acara juga diadakan demi memperingati hari yang spesial bagi bangsa Indonesia. maka diadakanlah lomba-lomba demi memperingati kemerdekaan. Orang-orang berduyun-duyun untuk mengikuti beberapa lomba khas 17 an. Mulai dari lomba baris-berbaris, tarik tambang, lomba makan kerupuk, hingga panjat pinang. Tak hanya sampai disitu, perayaan-perayaan secara personal juga dilakukan sebagai otoritas bahwa Indonesia sudah tidak dijajah lagi. misalnya kita update di sosial media seperti instastory, whatsaap maupun facebook dengan caption ala-ala kemerdekaan. Itu semua merupakan bagian dari atribut dalam merayakan kemerdekan.

Entah mengapa pada saat momen kemerdekaan, serasa ada nuansa yang berbeda, jiwa kita tiba-tiba merasa bergelora. Umbul-umbul bendera merah putih menghias di jalan-jalan, gang-gang sempit hingga kendaraan-kendaraan terselip bendera mungil merah putih, hal itu semakin memberi akses kecintaan kita pada negri ini. Di momen kemerdekaan Lagu “gebyar-gebyar” nya Gombloh serasa terdengar lebih heroik.

17 Agustus disamping sebagai hari kemerdekaan juga sebagai momen yang pas bagi para pelaku industri ekonomi dalam meningkatkan pendapatan. Di momen ini kita akan bertemu banyak hal yang memancing selera konsumsi kita terhadap barang-barang kebutuhan yang tidak mendesak. Kita akan lebih mudah menemukan brosur maupun pamflet di jalan-jalan atau iklan-iklan di internet dengan penawaran diskon yang fantastis, apalagi jika kita pergi ke pusat perbelanjaan seperti Mall. Maka kita akan disuguhkan pemandangan kata “Diskon” yang ukurannya super besar, alih-alih menyemarakkan kemerdekaan RI sebagai landasan dasar. Hal ini menjadi semacam diskursus para pelaku industri ekonomi dengan memanfaatkan momen.

Dengan menghamparnya “diskon” yang fantastis membuat selera konsumsi kita tidak bisa dibendung. Kita lebih mengalah pada pewanaran diskon, Mulai dari makanan, pakaian, dan barang-barang elektronik. Hal ini menjadi problem bagi masyarakat menengah ke bawah dan konsekuensinya adalah perencanaan-perencanaan yang kita susun jauh-jauh hari menjadi pupus gara-gara penawaran diskon.

Menghadapi fenomena seperti ini tidak bisa kita abaikan begitu saja. Penawaran diskon di momen kemerdekaan seolah menghipnotis alam bawah sadar kita. nalar konsumsi kita menjadi rapuh pada saat menjumpai barang-barang yang berlabel “diskon”. Lalu pada akhirnya kita menyingkirkan momen 17 an yang seharusnya belajar bagaimana memahami esensi kemerdekaan dan sadar akan kebhinekaan negri ini. kita lebih memilih merayakan ego konsumsi dan secara tidak langsung ikut membantu membangun industri ekonomi yang kapitalistik.

Comments

Popular Posts