Nikah dan Perayaan Luka
Kita akan sepakat bahwa pernyataan “saya terima nikahnya si A” adalah sebuah
fase sakral yang akan dilalui setiap laki-laki kelak. Pernyataan tersebut juga
merupakan proses transformasi dari hidup yang ganjil menuju kegenapan hidup.
Pada fase ini kita tidak lagi menggunakan kata “aku” (ego) tetapi akan
cenderung memakai “kita” (pasangan) sebagai sebuah kesepakatan bersama terhadap
segala jenis tindakan.
Jenjang pernikahan tentunya adalah momen
bahagia bagi sebuah pasangan. Bagaimana tidak, seorang manusia yang terlahir
dari kecil hingga dewasa telah menemukan satu misteri hidup yang rumit yaitu
pasangan hidup. Menikah merupakan jalan alternatif untuk menghindari seks
bebas, dan menikah juga sebagai jawaban atas pertanyaan centil “untuk siapa sebenarnya saya dilahirkan?”.
Kata “sah” dari beberapa saksi pada
saat proses akad nikah menjadi semacam afirmasi bahwa si perempuan sudah tidak
lagi menggantungkan hidupnya pada kedua orangtuanya, itu artinya si perempuan
sudah memiliki sandaran hidup yang lain yaitu suami, sebaliknya lelaki yang
menikahinya sudah pasti bersepakat untuk mencukupi segala kebutuhan baik jiwa
maupun raga.
Membangun rumah tangga jika dipikir-pikir
memang rumit. Apalagi pada abad ini kita dituntut untuk memenuhi standar kebutuhan-kebutuhan
rumah tangga seperti pekerjaan, kendaraan, tempat tinggal dan lainnya. jika
kita membaca beberapa panduan sebelum menikah, kita akan dihadapkan pada
beberapa hal rumit yang menyangkut persiapan dokumen institusional, materi dan bahkan
kesiapan psikologis kita. oleh karenanya keputusan untuk menikah harusnya
didasarkan pada kesadaran personal bukan karena kebelet melihat teman-teman
kita yang telah mendahuluinya. Sebab menikah tidak seperti lomba lari marathon dan menikah juga bukan hanya
persoalan main perang-perangan di atas ranjang, lebih dari itu kita dituntut
untuk saling memahami segala kebutuhan satu sama lain dan tentunya kita bersiap
menghadapi segala kegetiran hidup bersama-sama.
Keputusan “menikah” adalah keputusan besar
dalam hidup. Ia setidaknya telah mengambil sebuah keputusan yang memberi
kemungkinan lain, kemungkinan yang menuntut kita untuk memahami etika berumah
tangga, bagaimana mengolah ekonomi keluarga dan tentunya bagaimana memahami
sistem reproduksi satu sama lain.
Menikah bagi saya adalah persoalan bagaimana
kita dapat meningkatkan rasa kedewasaan dengan penuh tanggung jawab, namun
bukan berarti kita tertuntut dengan beban kebutuhan, tetapi sadar bahwa apa
yang kita lakukan semata-mata untuk saling menjaga dan tentunya sama-sama
belajar untuk terus mengembangkan potensi satu sama lain. Membangun rumah
tangga memang seharusnya diarahkan pada hal-hal semacam tadi. Tidak ada
eksploitasi gender. Laki-laki tidak sepenuhnya berhak melarang istrinya
berkembang dengan caranya sendiri. Perempuan tidak harus persoalan kasur dan
dapur, ia juga berhak memainkan peran yang lain agar dapat memberikan
kontribusi terhadap suatu bidang. Hal ini menjadi persoalan bagi kita agar kita
terhindar dari definisi nikah yang salah kaprah.
Saat sekarang ini kita lebih mudah menjumpai muda-mudi
sudah menikah di usia muda, bahkan di pelosok-pelosok terpencil negri ini, kita
masih bisa menjumpai fenomena nikah muda. Tidak ada yang salah sebenarnya.
Namun terkadang fenomena ini kemudian menjadi semacam sebuah kampanye untuk
menyuarakan “pentingnya nikah di usia
muda dalam mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup” lalu kemudian
secara tidak langsung menyingkirkan gagasan “ pengetahuan merupakan dasar dalam bertindak dan memahami sesuatu”.
kita menjadi lupa bagaimana
seharusnya kita membangun pengetahuan terlebih dahulu”. Maka tidak heran jika
banyak anak-anak muda sekarang sudah menggendong bayi dan merasa cemas
memikirkan berapa jumlah pampers yang
harus dibeli setiap hari.
***
Lain pula yang sudah menikah lain pula yang
belum menikah, seperti saya misalnya. Hadirnya internet serta sosial media
membuat kita lebih mudah menjangkau beragam informasi, saya sering mendapat
undangan pernikahan secara elektronik lewat pesan whatsapp, sehingga dipastikan saya sering menjumpai foto pernikahan
teman-teman saya di sosial media seperti facebook
dan instagram dan tentu menanggapinya
dengan penuh suka cita, mereka sangat bahagia.
Bagi kita yang belum punya pasangan terkadang
dihadapkan pada dua pilihan pada saat menjumpai foto acara wedding teman kita. pertama, cuek aja pura-pura sibuk kedua,
tanggapan berkomentar sebagai ungkapan rasa simpati. Kata “cieee...” atau “samawa yaa...”
pada sebuah kolom komentar foto pernikahan seorang teman sebenarnya bukan
sebagai ungkapan rasa simpati terhadap pasangan mempelai, tapi lebih kepada
representasi sebuah ratapan penderitaan. Mungkin ini terdengar keterlaluan.
Tapi dipastikan dadamu memar pada saat melihat teman kamu sedang duduk berdua
di kursi pelaminan, mereka sudah berbagi tangan, lengan dan bahu satu sama
lain. Jangan baper.
***
Ada lagi fenomena yang seringkali kita jumpai.
Saya pikir ini adalah salah satu momen ketika otak bekerja lebih terampil dari
biasanya. pada saat itu manusia begitu cerdik dalam menyembunyikan duka. Acara
pernikahan sudah pasti momen bahagia bagi sebuah pasangan mempelai. Namun ada
satu yang mesti dicurigai, yaitu teman-teman yang hadir dan tidak membawa
pasangan. Sebut saja status mereka jomblo, singgel, lajang atau apalah
sebangsanya. Mereka terlihat sumringah ketika menyaksikan temannya yang menikah sedang duduk di kursi
pelaminan. Nah, biasanya di akhir acara ada sesi foto-foto bersama pasangan. Selfie dengan pasangan mempelai
nampaknya menjadi cara mereka menunjukkan rasa simpati terhadap pasangan
mempelai. namun di balik itu semua hanyalah omong kosong, bullshit ! mereka pada dasarnya terluka, hatinya teriris melihat
temannya sudah gugur statusnya. Bahkan sepertinya puncak rasa dengki itu ada
pada saat momen tersebut.
Naudzubillah...
Comments
Post a Comment