Politik Kita Parodi Kebudayaan
Beberapa hari belakangan ini, saya selalu
menyempatkan diri membaca Koran, kebetulan teman kerja saya memang setiap hari
berlangganan Koran. Jadi, saya menjadi pembaca kedua setelahnya.
Di era sekarang ini eksistensi Koran
sepertinya mulai diasingkan zaman, dan digantikan media digital yang begitu
mudah diakses berkali-kali lipat. Namun, Membaca Koran ternyata masih
menyenangkan, deretan kata mungil yang berjajar rapi membuat mata betah berlama-lama
memperhatikan huruf demi huruf yang dirangkai hingga menghasilkan satu kesatuan
berita utuh. Saya juga masih bisa menjumpai iklan-iklan primitif yang bertebaran
membentuk satu lembar rubrik khusus iklan seperti jasa pijat, penawaran barang-barang
elektronik, jual beli rumah, tanah, apartemen, obat pembesar alat vital, dan
banyak lagi iklan-iklan yang kalau dibaca semua membuat nafsu konsumsi saya melonjak
seperti orang kelebihan duit saja. Satu sisi Koran memang membutuhkan uluran
tangan dari iklan-iklan seperti itu, demi keberlangsungan hidup perusahaan.
Ingat ya ! Koran bukanlah hal baru dalam
peradaban kita. Di jaman Orde Baru Koran menjadi penyambung lidah kegelisahan
rakyat atas penguasa yang barbarian. Suara Koran menjadi bagian penting dari
terbitnya era “Reformasi”.
Hidup di era informasi digital membuat
kebanyakan kita memilih pindah pada sesuatu yang lebih praktis, kaum Milenial
cenderung memilih yang teknologis, mungkin hanya beberapa persen saja kaum muda
yang masih membaca Koran, majalah ataupun buku. misalnya dengan smartphone yang kita genggam kita bebas
mengakses berbagai informasi dengan begitu cepat. Dunia Global terbuka lebar di
hadapan mata kita. Itu sebabnya media massa seperti Koran menjadi kurang
diminati, lembar-lembar Koran menjadi tergeletak tak terurus di mana-mana,
setelah itu Koran menjadi berubah haluan secara fungsional, menjadi pembungkus
cabe ataupun apa saja.
***
Dengan hadirnya dunia digital semestinya kita
bersyukur, dengannya kita dengan mudah dapat ngomong ini itu berkat pengetahuan
yang didapat dari mesin pencari di internet seperti ”Google”. Jadi sudah tidak
ada kata istilah “tak ada yang lebih tabah dari kebodohan selain hujan bulan Juni”.
Derasnya informasi yang setiap hari dikonsumsi
membuat kepala ini melahirkan banyak praduga, baik dari media cetak maupun
digital. Contoh saja, berita Isu-isu urusan kekuasaan. Apalagi sebentar lagi
pesta Demokrasi akan digelar, tentunya kita akan memilih calon-calon pemimpin
yang setiap hari naik turun gunung menemui rakyatnya dan mendengar keluh
kesahnya.
Isu Politik pada hari ini sepertinya sudah
menjadi asupan kewarasan setiap kalangan, wabilkhusus kaum muda. Apalagi dengan
hadirnya Media Sosial yang menjadi ladang subur penyambung lidah Netizen, apa
saja mereka komentarin kadang cuman numpang nyinyir, ngak salah sih. Dengan begitu
kaum muda menjadi terhindar dari kealpaan Politik, mereka menjadi sensitif
terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan kemudian menjadi berani menyuarakan
aspirasinya. Namun di satu sisi Media Sosial mengundang hal problematis.
Bayangkan saja setiap hari informasi datang membludak tak terbendung membuat kita
sulit memverifikasi kebenaran data yang beredar.
Masih ingat kan seorang pemuda 17 tahun Will Connoly
yang baru-baru ini melemparkan telur ke kepala Senator Australia atas komentarnya
yang menyalahkan Muslim atas penembakan di masjid Christchurch Selandia Baru. Aksi
heroik pemuda yang dijuluki eggboy
itu menjadi salah satu contoh dari sekian ribu pemuda yang berani menentang cara
berpikir kerdil penguasa. Aksi tersebut mungkin bisa kalian coba di Negara kita
Indonesia, tapi jangan salahkan siapa-siapa jika besoknya kamu menghilang tidak
ada kabar.
Beberapa hari yang lalu saya menerima kabar
tentang seorang kepala suku sebuah Partai besar menjadi tersangka Korupsi, hal ini
semakin menambah rekor kekecewaan publik terhadap Parpol yang berlandaskan
atribut keagamaan itu. Konsekuensinya adalah publik menjadi semakin jijik pada aktivitas
Politik praktis dan jauh dari pemahaman Politik yang berlandaskan pembangunan
kesejahteraan.
Berbicara Politik memang tidak ada habisnya.
Makanya, pada abad ini Politik dan kekuasaan sangat terbuka lebar untuk
dimodifikasi. Dari urusan kaderisasi anggota Partai, urusan bagaimana melacak
para penyebar hoax, urusan bagaimana
menakut-nakuti maling (koruptor), hingga urusan kampanye yang dipermak secara Religius
yang mulai menyesaki ruang di kanal Youtube.
Sangat inovatif. Ada seribu satu cara yang dapat ditempuh untuk mencapai
kekuasaan. Namun sayang, kita harus merelakan sesuatu yang esensial dalam menempuh
kekuasaan. Ini akan menjadi tahun-tahun yang akan dikenang bangsa Indonesia,
bahwa hari ini Agama adalah panji.
Urusan Negara dan Agama sangat susah
dipisahkan, mereka seolah-olah sudah
seperti sebuah pasangan yang mengikrarkan untuk sehidup semati. Penyebabnya
sederhana, keduanya sama-sama lahir dari upaya manusia untuk mengorganisir
berbasiskan keyakinan yang semula bekerja di ranah individual.
Hari ini rasanya tidak ada satupun aspek kehidupan
yang tidak dihubungkan dengan Agama mulai dari kesuksesan dalam berkarir, bencana
alam hingga Politik. Berbicara Politik berarti menyinggung pada ranah Agama.
Wacana Politik Agama yang dipakai menjadi zat adiktif baru sehingga membentuk
keyakinan kolektif. Misalnya calon pemimpin si A jika ia memimpin maka dilarangnya
adzan berkumandang atau calon Pemimpin si B adalah antek Komunis dan yang lebih
parah adalah tuduhan-tuduhan Kafir terhadap orang-orang yang tidak se-ideologis
dengan menggunakan dalil-dalil kitab suci.
Konsekuensi dari hadirnya Agama dalam
gelanggang Politik dan kekuasaan adalah justifikasi benar dan salah. Pada
akhirnya akan lahir hipotesa baru bahwa kita dapat menentukan baik dan buruk
seseorang dilihat dari pilihan calon pemimpin. Kedengarannya menggelikan sih
memang, namun di beberapa daerah hal ini terjadi. jika hal ini terus berlanjut akan
sangat melelahkan tentunya.
Agama yang seharusnya menjadi jalan sunyi bagi
setiap insan, rumah berteduh bagi kerisauan hidup telah berubah menjadi jalan
kebencian dan kemarahan.
Lantas, apa yang disisakan Agama?.
:)
ReplyDelete:)
Delete