DESEMBER: Genealogy of Hates




Desember, seperti kita pahami bersama, aroma merbak Natal dan Tahun Baru terasa, sama seperti saat makan siang tiba. Aroma sedap masakan Ibu merayu selera.

Sepanjang tahun ini kekeringan melanda di mana-mana, hingga bulan November kemarin hujan belum juga turun, bumi gersang. Saya selalu membayangkan jika hujan turun di bulan November adalah hujan belas kasih Tuhan pada semesta, airnya dapat mengalir membasahi kenangan-kenangan di kepala. Sepanjang bulan kemarin saya selalu memanjakan telinga dengan mendengarkan lagu November rain dari Guns n Roses, itu tidak lain sebagai bagian dari ungkapan deretan doa turun hujan, namun tetap nihil. hujan turun di bulan Desember.

Desember, Pohon-pohon Natal dengan gemerlap lampu-lampu mungil yang cantik mewarnai pusat perbelanjaan dan jalan-jalan sudut kota. Desember adalah sebuah simbol kebahagiaan dalam bentuk perayaan ritual besar tahunan umat Kristiani sekaligus pintu memasuki tahun baru dengan ragam resolusi di kepala.

Desember di Indonesia rasanya memiliki makna ganda, selain sebagai hari kebahagian bagi umat Kristiani, Desember juga mengandung rasa sensitifitas yang tinggi terhadap beberapa kelompok masyarakat, layaknya perempuan yang lagi datang bulan, tingkat ke baperan-nya tinggi. Itu tidak lain karena Indonesia memiliki populasi masyarakat dengan mayoritas beragama Islam. Sedangkan Islam sendiri di Indonesia memiliki ragam paham dalam memahami Islam itu sendiri, sebut saja dari yang menganut paham tradisionalis, modernis, fundamentalis dan mungkin radikal eksklusif.

Yang menyesakkan dada di bulan Desember adalah ada sebagian kelompok Islam katakanlah mereka yang berhaluan Radikal ekslusif, mencoba membuat semacam wacana dengan narasi-narasi kebencian terhadap kelompok lain, katakanlah non muslim, di bulan Desember juga sebagian kelompok mencoba mengulang kembali topik yang seharusnya sudah selesai dibicarakan namun selalu tidak selesai, Ceramah-ceramah tentang larangan mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen kembali mengudara dan poster-poster yang berisi tentang larangan meniup trompet, menyalakan kembang api pada malam tahun baru kembali ramai di beranda Facebook, Whatssapp dan media sosial lainnya. Alasannya sederhana, yaitu agar Iman Islam kita tidak terjerumus pada ajaran Agama Kristen, Yahudi ataupun Nasrani, dan yang lebih parah adalah timbulnya justifikasi Murtad dan Kafir bagi orang Islam yang mengucapkan “selamat hari raya natal atau Marry Cristmas”. atau mereka yang meniup trompet dan menyalakan kembang api pada malam tahun baru hanya dengan berlandaskan hadist yang tiba-tiba menjadi viral di bulan Desember, kurang lebih isi hadistnya begini "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Daud dan Ahmad)". Lalu, apakah gara-gara kita memakai celana Jeans kita menjadi Yahudi?.

Kita ketahui bersama bahwa Islam memiliki prinsip dasar yaitu percaya kepada Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam, Nabi Muhammad SAW itu utusan Allah SWT, percaya bahwa Al-Qur’an itu benar Firman Allah SWT dan percaya pada hari Kiamat. Itu adalah prinsip dasar yang tidak bisa diotak atik. Sedangkan persoalan mengucapkan Selamat Natal, meniup trompet dan menyalakan kembang api pada malam tahun baru itu tidak ada hubungannya dengan prinsip dasar Islam. Untuk persoalan mengucapkan Natal kepada orang Kristen Jauh-jauh hari Gus Dur pernah menulis di Koran Suara Pembaharuan. https://www.nu.or.id/post/read/64529/harlah-maulid-dan-natal. Silahkan baca.

***
Tuhan menciptakan manusia dengan hasrat dan keinginan yang berbeda, pikiran yang ada dalam otak  kita juga berbeda. Jadi menurut saya kitab suci Al-Qur'an itu bersifat mutlak, lalu menjadi relatif ketika kita pahami dengan latar belakang kita, oleh karenanya memahami Al-Qur’an ataupun Hadist tidak semudah mengucapkan “good bye” kepada mantan, butuh pengetahuan yang luas, butuh banyak guru dalam memahami Al-Quran, agar kita tidak terjebak pada pemahaman yang bersifat Radikal Nihilis.

Perbedaan yang timbul dalam kelompok masyarakat merupakan sebuah keniscayaan, cara pandang yang kita gunakan dalam melihat sesuatu menentukan suatu reaksi diluar kita, kita tidak bisa menolak kenapa berbeda, berbeda adalah cara Tuhan untuk mendekatkan yang jauh dengan saling menghormati satu sama lain. Berbeda juga merupakan cara manusia menyeimbangkan keberadaannya dalam bermasyarakat.

Menyikapi fenomena keberagaman dalam masyarakat Demokrasi menjadi sebuah tanggung jawab bersama. Dialog antar umat beragama adalah alat untuk saling menghormati satu sama lain, dialog dimaksudkan bukan untuk mencari perbedaan namun untuk mencari akar persatuan demi membangun hidup yang harmonis di tengah keberagaman.

Salam damai.

Comments

Popular Posts