Ketika aku tidak menemukan tempat untuk menyembunyikan kepedihan ini



“Iya, kamu harus tetap kuat “, katanya.

Nada-nada beraroma optimisme itu selalu mengeras di gendang telinga.

Lalu apa yang menjadikan kita rapuh ?

Tentunya beragam jawaban akan muncul dari setiap orang dengan isi kepala yang berbeda. Tapi mungkin lain jika pertanyaan ini di lontarkan kepada Chairil “Luka dan bisa kubawa berlari ”.

Ok, aku tidak hendak membahas kalimat yang diutarakan Chairil di sepenggal puisinya juga tidak bermaksud memaksakan kehendak diri ini untuk aku jadikan dalil atas luka memar dalam hidup.

aku yakin seyakin-yakinnya setiap orang pasti membutuhkan kesunyian, kesunyian yang aku maksud adalah mencoba bagaimana keluar dari hiruk pikuk serta belenggu yang membuat kita terjebak pada satu dimensi hidup.

Bagiku menemukan kesunyian tak melulu tentang tempat, tentang alam, wisata-wisata eksotis yang menawarkan berbagai macam kenikmatan ataupun ruang-ruang hampa di mana cuma ada kita. Jauh dari hal itu.

aku pernah hidup sekaligus terlibat di antara orang-orang yang sibuk berlalu lalang tanpa henti dari pagi, malam lalu pagi kembali. aku tidak tau apa nama kotanya, tidak penting aku jelaskan itu kota apa, tapi yang pasti di sana ada seribu macam interaksi sosial.
aku mencoba mencermati layaknya life observer,orang-orangnya seperti kehilangan sesuatu, keras, namun dari kejauhan aku melihat kedua matanya penuh kerinduan. Dengan segenap jiwa raga aku menunduk lalu menengadah berbisik pada diri sendiri”, Tuhan, aku ingin merdeka".

Membesarkan pikiran dalam diri tentunya menjadi penting, mengingat banyak dilema yang kadang menghantam diri kita. Seperti misal belajar tentang kisah-kisah orang-orang di pinggir jalan. Kalau kita pergi seumpama ke tukang sol sepatu tentunya akan menemukan beberapa kisah yang mungkin membawa kita pada kerelaan hidup.
...
Aku senang berada di antara orang-orang yang diam, aku banyak belajar darinya, belajar bagaimana agar pikiranku dapat meletup-letup tanpa omong usang yang mudah dilupakan angin.

Pernah waktu itu aku mengobrol bersama teman lamaku, langit mendung tapi tidak hujan. Dia membetulkan tempat dudukya.
“hidup ini rumit penuh kejanggalan”, kata temanku yang baru punya anak 5 semuanya laki-laki. membentuk (boyband) *salah satu cita-cita terbesarnya.
“lah kenapa begitu ? bukankah selama ini kamu bahagia bersama istri tercinta kamu, apalagi kamu sudah punya formasi boyband kataku sambil senyum.

“aku belum pulang ke kampung halaman selama 7 tahun”, jawabnya sambil memandang ke arah selatan dimana anak-anaknya bermain.
“loh, kenapa teman?
“ada saja hal yang menjadi hambatan”. katanya.
“sabar, mungkin belum saatnya, tapi suatu saat kamu pasti pulang dan dapat berjumpa ibumu lagi “. aku mencoba menguatkan tekadnya.

Setelah ngobrol-ngobrol lumayan lama, aku pulang lalu mampir di salah satu kedai kopi, memesan kopi yang tidak terlalu manis. Pelayannya adalah seorang wanita yang hampir overweight mungkin kira-kira usianya 27 an, cantik. Kedainya tidak terlalu ramai, hanya beberapa orang saja yang mengobrol dan tertawa, di luar hujan, terdengar sedikit mendayu-dayu lagu “Comfortably Numb”, menambah kehangatan tentunya.

aku melihat buku-buku berjajar tidak rapi di rak yang menempel di dinding sebelah kanan saya, kulihat buku nya Yu Hua di situ berbaring pasrah. “To Live”, saya baca kembali, membaca “To Live ” rasa-rasanya aku ingin cepat-cepat pulang, membuka jendela rumah lebar-lebar, menuangkan teh hangat untuk ibu, bercakap-cakap sepanjang hari tanpa jeda, tanpa penyesalan, melupakan penderitaan, melawan nasib buruk dan ketidakpastian. Sekarang aku paham, kenapa ibu selalu membuatkanku kopi setiap pagi. mata ibu yang teduh adalah tempat di mana aku menitipkan segala rahasia.

Comments

Popular Posts