Panitia Hari Kiamat
Enak ya pagi-pagi bangun, keluar rumah
menghirup udara segar. Di luar pagar ada abang-abang jualan sayur. Habis itu
duduk di sofa dengan secangkir kopi, pisang goreng, rokok di tangan kiri. Tentunya
sambil nonton TV. muwantepp pokoknya.
Beberapa waktu lalu kulihat di Tv, Koran, dan Internet ada berita ribuan umat berputih-putih berdesak-desakan memenuhi
jalanan Ibu Kota dengan membawa bendera Merah Putih dan bendera dengan kalimat Tauhid.
Katanya temu kangen alumni 212. Maaf itu bukan partai Wiro Sableng bro. 212
hanya kode situatif, tidak ada kesakralan sama sekali, yang sakral itu
penghambaan kita secara personal pada yang Ilahi. Nah, terkait dengan bendera Tauhid jika dipermasalahkan juga bisa jadi masalah, umpamanya: mereka gak Nasionalis.
Aksi temu kangen alumni 212 memiliki ribuan anggota,
mereka dari mana-mana tentunya, keren ya. Bayangkan gara-gara kasus waktu itu,
si Tionghoa itu bisa mempersatukan umat lho, luwar biyasah. Cuman untuk aksi
alumni 212 kemaren tuntutannya sepertinya berbeda. Ada teriakan-teriakan
politis di antara ribuan teriakan Takbir.
Puji Tuhan Negri ini yang multitalen, dari
yang paling jago main tik-tok hingga
masalah tempe yang setipis ATM. Makanya semakin rumit masalah di negri ini rakyatnya
akan makin kompak. Cuman problem yang akhir-akhir ini muncul sepertinya hanya menjebak
kita pada kejumudan budaya, kedangkalan berfikir dan mengikis peradaban.
Kosakata seperti intoleransi mulai memasuki ruang-ruang dalam kepala kita, lalu
setelah itu muncul istilah anti-antian. Anti Cina, anti Amerika, anti Komunis,
anti kamu lah dan anti-anti yang lain. Gerakan anti-antian saya pikir akan
menambah beban kesaktian Pancasila. Kalau nanti saya ditanya ikut gerakan anti
mana, sudah dipastikan saya akan merapat pada gerakan anti Poligami garis keras.
Takbir !
Munculnya gerakan anti-antian sudah dipastikan
kita akan menyambut kedatangan kaum-kaum intoleran, kaum yang memonopoli
kebenaran. Jika kaum intoleran yang memimpin, akan sama halnya kita menerima
sistem otoritarian, fasis dan tentunya predatoris. Maka yang tidak se-ideologis
akan di singkirkan atau mungkin jika secara radikal di babat habis. Ya semoga
saja tidak.
Isu-isu yang berbau rasisme itu berbahaya bagi
keberlangsungan hidup masyarakat, masyarakat akan mudah saling menyalahkan satu
sama lain. Kita tau bahwa Indonesia memang menganut sistem Demokrasi Liberal
dengan menggunakan pendekatan multikultural di mana masyarakat diberikan hak
dan kebebasan atas keputusan perkara-perkara publik namun apa yang terjadi saat
ini tidak sesuai dengan sistem yang dipakai.
Nah, hari ini rasanya kebebasan kita mulai
disandera, Penguasa atau mereka pamilik modal sepertinya mulai cemas jika
disentil dengan isu subversi. Permainan politik yang kerdil berimbas pada azas kesejahteraan
rakyat. Contoh kasus seorang petani di Banyuwangi, dia sekarang di penjara
gara-gara aksi penolakannya terhadap pembangunan tambang di wilayah Banyuawangi,
ia kemudian seenaknnya saja dituduh Komunis, ini kan terdengar menggelikan.
Bayangkan seorang petani yang hanya lulusan SD tiba-tiba dituduh Komunis, padahal
dia tidak paham ideologi Komunis seperti apa, apalagi kenal Karl Mark dan buku Das
Kapital. Ini jelas-jelas penindasan.
udah ah, capek !
Comments
Post a Comment